Telaah Kritis Dominasi dan Hegemoni Kapitalisme Global Pada Pendidikan Tinggi Indonesia

Pendidikan Tinggi Indonesia seakan tidak pernah berhenti untuk terus mengalami dinamika. Baik dinamika secara intelektual oleh para penghuninya, maupun berupa dinamika politik untuk mengaturnya. Bayangkan dengan jumlah ribuan PTN dan PTS yang ada di Indonesia sampai hari ini, akan tetapi masih belum mampu menampung setiap anak negeri untuk mengenyam pendidikan pada jenjang perguruan tinggi di negeri yang konon katanya adalah negeri yang kaya nan subur akan Sumber Daya alamnya. Sangat lazim kita dengar bahwa para lulusan Sekolah tingkat Menengah di negeri ini sebagian besar tidak mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat Perguruan Tinggi karena alasan tidak memiliki biaya dikarenakan biaya kuliah terbilang mahal bagi sebagian besar penduduk negeri ini yang mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja informal dan buruh. Jumlahnya menurut data 2012 mencapai di atas 50 persen. Ditambah lagi jika melihat data BPS tentang jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2012 yang mencapai angka 28,59 juta jiwa.[1] Itupun karena standar BPS adalah penghasilan 1$ per hari. Jika mengacu pada standar Bank Dunia yang 2$ per hari, maka tentunya angka tersebut bisa saja menjadi dua kali lipat atau bahkan lebih.

Masih hangat dalam ingatan kita tentang pro dan kontra tentang hadirnya UU no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang disahkan oleh DPR melalui rapat paripurna pada tanggal 13 Juli 2012 lalu.[2] Kehadiran Undang – Undang ini pun menuai protes dari berbagai kalangan terutama dari Mahasiswa dari kalangan kurang mampu dan akademisi serta intelektual yang masih memiliki perhatian terhadap isu mahalnya biaya pendidikan hari ini yang ditengarai berpotensi semakin melangit dengan disahkannya UU no.12 tahun 2012 tersebut.[3] Beberapa pihak pun melancarkan gugatan di MK dan terus memperjuangkan bagaimana supaya asumsi indikasi akan terkomersialisasinya Pendidikan Tinggi negeri ini melalui regulasi UU PT tersebut bisa dicegah. Persoalan akses, kualitas dan biaya kuliah murah senantiasa menjadi cita – cita setiap generasi muda negeri ini jika kita berbicara soal Pendidikan Tinggi. Di lapangan aksi penolakan, wacana privatisasi sector pendidikan sebagai agenda neoliberalisme di negeri ini kerap kita dengarkan melalui orasi para aktivis yang melakukan kampanye ataupun aksi protes untuk menolak regulasi UU PT ini.

Liberalisasi dan privatisasi adalah adalah isu yang sangat sering kita dengarkan selama berkuasanya rezim Suharto sampai pada pemerintahan hari ini. Sumber Energi, minerba (mineral dan batubara), pertambangan, perkebunan, dan sector jasa merupakan sector yang oleh Negara melalui pemerintah diliberalisasi dan diprivatisasi ke sector “swasta”. Baik swasta dalam negeri, dan terutama memang diperuntukkan kepada pemodal asing dalam hal ini kapitalis internasional yang mengambil keuntungan dari sistem neoliberalisme yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia sampai hari ini.[4] Sejak saat itulah upaya untuk meliberalisasi berbagai sector termasuk pendidikan diupayakan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melaui regulasi perundang – undangan mulai dari UU Sisdiknas tahun 2002 yang mensyaratkan Pendidikan tinggi berbadan Hukum, UU BHP tahun 2009 yang telah dibatalkan oleh MK, serta terakhir UU Pendidikan Tinggi tahun 2012 ini yang disinyalir juga berbau liberalisasi dan privatisasi Perguruan Tinggi Indonesia yang dikhawatirkan akan mengkomersialisasikan (biaya mahal) pendidikan Indonesia yang memang hari ini sudah terasa mahal dan belum mampu diakses oleh setiap generasi di negeri ini. Terutama mereka yang tidak mampu secara ekonomi. Cengkraman kapitalisme di sector pendidikan tinggi inilah yang akan menjadi fokus dalam tulisan kali ini dalam kaca mata pemikiran teoritisi kritis. Yakni mengenai tema dominasi dan hegemoni kapitalisme global terhadap Pendidikan Tinggi Indonesia.

Kapitalisme Global dalam Kacamata Teori Kritis

Salah satu kritik dari Teori Kritis dalam hal ini teoritisi Mazhab Frankfurt adalah Kritiknya terhadap Kapitalisme.[5] Meski dalam pandangannya tentang kapitalisme sepakat dengan Teori Marx tentang alienasi dan fetisisme komoditas yang dilahirkan oleh kapitalisme, para teoritisi Mazhab Frankfut ini sebagaimana pandangan para Marxisme Barat seperti Lukacs dengan terminology reifikasinya dan Gramsci dengan hegemoninya menyatakan bahwa Marx tidak mengantisipasi kejelian Kapitalisme di era sekarang ini. Marx dianggap terlalu mekanistis dalam memandang perubahan sejarah masyarakat yang dengan segala keniscayaannya akan melahirkan sebuah revolusi sosial dengan semakin tajamnya kontradiksi internal di tubuh kapitalisme yang akan melahirkan sebuah krisis, dan di saat itulah kelas proletar secara otomatis akan melakukan revolusi proletariat.[6] Akan tetapi menurut Marxisme Barat yang juga termasuk Mazhab Frankfurt, Marx mengesampingkan faktor kesadaran kelas yang ternyata mampu dimanipulasi oleh kapitalisme dalam rangka mencegah revolusi sosial. Dalam aspek itulah konsep reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), dan dominasi (Frankfurt) menemukan celah dari teori Marx tersebut untuk menjawab mengapa kapitalisme mampu bertahan sampai hari ini.[7]

Habermas dalam perkembangan analisisnya sebagai teoritisi Frankfurt generasi kedua dalam pandangannya yang dituangkan melalui Knowledge and Human Interest (1971) seperti juga dikutip oleh Nuryatno (2008:16) menyatakan bahwa dalam kapitalisme lanjut sekarang ini yang sangat berbeda dengan karakter kapitalisme liberal di masa Marx. Pandangan teori Marx yang memang sesuai dengan pemisahan peran Negara dan pasar bebas di masanya mesti dilengkapi dengan analisa bagaimana hari ini Negara tidak lagi menjadi regulator dari pasar bebas itu sendiri dan mekanisme pasar diatur oleh kapitalis. Akan tetapi kapitalisme fase lanjut hari ini dijalankan melalui mekanisme dukungan dan proteksi Negara. Negara dengan teknologinya dijadikan alat oleh kapitalisme untuk menjaga stabilitas dan melindungi keberlangsungan berjalannya industry – industry besarnya yang menjadi penyokong sistem ekonomi kapitalisme itu.[8]

Selanjutnya di era kapitalisme lanjut ini yang ditandai dengan keterlibatan Negara sebagai tidak hanya regulator, akan tetapi juga bertindak sebagai pelayan dan pelindung agenda para kapitalis global yang menjelma dalam wujud lembaga internasional dalam hal ini IMF, World Bank untuk sector keuangan dan WTO, NAFTA dan AFTA untuk sector perdagangan.[9] Dengan kehadiran berbagai lembaga internasional tersebut dan dengan diadopsinya sistem demokrasi liberal di Indonesia yang memungkinkan terlibatnya tangan – tangan lembaga Internasional tersebut untuk mendanai dan mengupayakan partai politik dan presiden usungannya menguasai pemerintahan di Indonesia saat ini, maka segala kepentingan kapitalisme global yang dibawa oleh lembaga – lembaga Internasional tersebut sebagai perpanjangan tangan kapitalis global itu dengan mudahnya terwujud. Ditambah lagi sebelumnya dengan berkuasanya rezim Soeharto yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun dan dikenal sangat setia melayani dan melindungi agenda – agenda para kapitalisme global tersebut, maka semakin jelaslah bagaimana cengkraman sistem kapitalisme global yang ada di Indonesia. Mulusnya jalan kapitalisme global tersebut melalui lembaga – lembaga tersebut bukan tanpa actor dibaliknya, akan tetapi kehadiran para ekonom dan intelektual didikannya membuat semua itu berjalan mulus di negeri ini. Berbagai kalangan sering menyebutnya sebagai Mafia Berkeley.[10]

Salah satu sector jasa yang menjadi korban liberalisasi dan privatisasi adalah sector pendidikan yang ditelurkan melalui perjanjian GATT (General Agreements on Tariff and Trade) pada tahun 1994 bersama berbagai sector jasa lain yang ikut diliberalisasi dan diprivatisasi, termasuk kesehatan.[11] Dalam perjanjian tersebut yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia bersama WTO, pemerintah Indonesia bersepakat untuk melakukan semua agenda yang termaktub dalam point kerjasama tersebut yang salah satunya memuat kesiapan Negara – Negara anggota WTO termasuk Indonesia untuk meliberalisasi sector jasanya dimana salah satunya adalah sector pendidikan. Dan salah satu agenda perwujudan dari penandatanganan tersebut adalah deregulasi mengenai aturan yang terkait dengan sector – sector strategis yang termaktub dalam perjanjian GATT tersebut.

 

Pendidikan sebagai Tindakan Politik dan Media Mobilitas Sosial

Salah satu tema yang menjadi tema teoritis kritis mengenai kritiknya atas kapitalisme adalah penciptaan manusia satu dimensi (one dimensional man). Pencetus teori tersebut adalah Herbert Mercuse yang merupakan salah seorang teoritis Frankfurt generasi pertama. Keberadaan teknologi yang dalam perkembangannya ternyata mengendalikan rasionalitas manusia (rasionalitas teknologis) merupakan munculnya kesadaran satu dimensi tersebut menurut Mercuse. Dan kesadaran satu dimensi itulah yang menjadi penyebab pula lahirnya dominasi dan hegemoni tersebut. Kesadaran manusia yang dikuasai oleh obyek dalam hal ini teknologi menjadikan kesadaran manusia tidak lagi kritis terhadap dunia yang dijalaninya, bahkan justru mengarah kepada proses dehumanisasi.[12]

Habermas melalui dan terutama pemikir Frankfurt lainnya menaruh perhatian terhadap Kritik Ideologi. Hal ini melihat bagaimana dominasi dan hegemoni dan dilancarkan oleh keberadaan teknologi sebagai hasil dari kapitalisme yang melahirkannya menjadikan manusia jauh dari agenda pembebasan dan humanisasi sebagaimana pencerahan menjajikan akan hal tersebut. Kritik Ideologi menurut pemikir kritis mazhab Frankfurt ini mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus hendak membebaskan masyarakat. Inilah dasar bagi filsafat praxis. Kritik Ideologi dapat menyingkapkan kepalsuan kesadaran terhadap apa yang selama ini ternyata menindas manusia.[13] Salah satu sasran dari kritik ideology ini adalah positivisme. Salah satu aliran pemikiran yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai, objek pengetahuan terpisah dari pengetahuan itu sendiri. Hal demikianlah yang menjadi sasaran kritik dari kritik ideology Mazhab Frankfurt ini.

Gramsci (1971) menyatakan bahwa konsepsi ideology memiliki tempat dalam relasinya dengan perjuangan kaum tertindas dan massa.[14] Keberadaan ideology merupakan pegangan bagi kaum yang selama ini terepresi dan bahkan terhegemoni untuk bangkit merebut hak – haknya melalui perjuangan kolektif (massa). Dan salah satu cara untuk memassifkan ideology tersebut adalah melalui pendidikan yang dijalankan dalam rangka menanamkan kesadaran ideologis tersebut. Jadi pendidikan pun dengan meminjam pandangan Gramsci di atas adalah ternyata sebuah tindakan ideologis. Tidak dapat dipisahkan dari aktivitas ideologis yang juga politis, karena pendidikan merupakan kegiatan praksis. Disadari atau tidak.

Selain itu menurut Nuryatno dalam Mazhab Pendidikan kritisnya sebagai salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai media mobilitas sosial adalah kaitannya dengan bagaimana pendidikan dapat memberikan kontribusi baik berupa kesadaran sosial maupun perbaikan kehidupan sosial. Sebagaimana Paulo Freire menyatakan bahwa orang yang buta huruf adalah manusia kosong dan marjinal.[15] Hal tersebut menyiratkan kita bagaimana salah manfaat dari pendidikan itu adalah mengangkat harkat dan martabat manusia dan terutama lebih jauh lagi dapat memperbaiki kondisi kehidupan dari sebelumnya. Baik dari segi ekonomi maupun dalam hal relasi sosial.

Jadi ketimpangan dalam hal akses pendidikan, apalagi pendidikan yang positivistic dan tidak membebaskan manusia atau bahkan men-dehumanisasi manusia menyebabkan mobilitas sosial dalam artian peningkatan taraf hidup dari segi ekonomi dan hubungan sosial seseorang akan terhambat. Jadi bisa dikatakan bahwa pendidikan merupakan arena memproduksi dan mereproduksi akses terhadap sistem sosial manusia.[16]

 

Dominasi dan Hegemoni Kapitalisme Global pada Pendidikan Tinggi Indonesia

Dengan terbentuknya formasi kapitalisme global yang mewujud dalam dua lembaga ujung tombak sebagai regulator keuangan yakni WB dab IMF dan satu sebagai regulator perdagangan yakni WTO, maka ketiga lembaga inilah yang menjalankan berbagai agenda dari para kapitalis global. Seperti yang didefenisikan oleh Habermas tentang kapitalisme lanjut yang menggunakan Negara sebagai pelayan dan pelindung/penjamin keberlangsungannya, maka IMF,WB, dan WTO senantiasa menanamkan pengaruhnya ke setiap Negara yang menjadi sasarannya terutama Negara berkembang seperti Indonesia. Scenario di Indonesia dimulai sejak berkuasanya rezim Suharto pada tahun 1965. Wacana developmentalisme dengan pendiktean yang dilakukan oleh IMF menjadikan scenario utang sebagai senjata menjajahnya untuk mewujudkan dominasi dan hegemoninya. Seperti yang dipaparkan oleh Fakih (2011) tiga tahapan Kapitalisme yakni kapitalisme liberal, developmentalisme, dan era kapitalisme global (globalisasi).[17] Tahap awal ditandai dengan dibebaskannya pasar dan Negara sebagai sekedar regulator, tahap kedua dikenal dengan penjajahan episteme dimana wacana pembangunan dan langkah – langkahnya di Indonesia termasuk scenario utang dan pembayaran serta regulasi – regulasi Negara diatur oleh ketiga Lembaga Kapitalis Global tersebut. Sedangkan fase terakhir yang sampai sekarang masih berjalan adalah Negara menjadi penyedia regulasi dengan berbagai consensus dengan tiga lembaga Kapitalis tersebut, kemudian Negara menjadi penjamin keberlangsungan sistem kapitalisme global tersebut dengan menyiapkan lahan yang dibutuhkan Korporasi – korporasi global di berbagai sektor, termasuk BUMN dan PTN yang ada di Indonesia. Kemudian wacana yang sering kita dengar adalah penciptaan iklim investasi yang nyaman untuk investor untuk menanamkan modalnya adalah salah satu tugas utama pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja.

Dominasi melalui utang dan hegemoni wacana investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menyerap tenaga kerja dan meningkatkan devisa dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setelah wacana pembangunan berlalu adalah senjata utama dari kapitalisme global untuk mencengkram negeri ini. Mengeruk Sumber Daya Alamnya, memeras keringat Anak Negeri (Rakyat Indonesia) dan menjadikannya pasar empuk sebagai negeri dengan penduduk yang terbilang tinggi untuk menjadi target pasar.[18] Sektor Mineral dan Batubara, pertambangan, perkebunan, Migas, telekomunikasi, transportasi dan sector jasa lain termasuk pendidikan menjadi sasaran Liberalisasi dan privatisasi pasca ditandatanganinya GATT tahun 1994 tersebut. Diawali dengan regulasi melalui produk perundang – undangan untuk melegalkan praktek liberalisasi dan privatisasi tersebut, sampai pada regulasi untuk melindungi praktek tersebut jika mendapatkan perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini rakyat Indonesia.

Regulasi yang telah didiktekan oleh WTO untuk meliberalisasi dan memprivatisasi Pendidikan Indonesia dimulai dengan disahkannya UU Sisdiknas yang salah satu pasalnya mewajibkan Pendidikan Indonesia berbentuk Badan Hukum kemudian BHP dengan semangat otonomi dan pembukaan ruang kepada public (masyarakat dan industri) untuk menjadi penyedia dana pendidikan, dan setelah dibatalkan oleh MK, maka tahun 2012 kemarin lahirlah UU Pendidikan tinggi yang tetap memiliki semangat yang sama yakni semangat liberalisasi yang member ruang pada sector swasta dan industry untuk menjadi penyedia dana (investasi) di dunia pendidikan.[19] Selain itu, dilegalkannya Student Loan yang menjadikan mahasiswa bisa diberi ruang untuk diberi pinjaman jika tidak mampu membayar biaya kuliah. Dengan argumentasi hegemonic pemerintah bahwa ini adalah itikad baik pemerintah untuk memudahkan akses terhadap mahasiswa yang kurang mampu. Utang mahasiswa nantinya akan dilunasi secara perlahan jika mahasiswa tersebut sudah bekerja. Dan Perguruan Tinggi juga akan menjalin kerjasama kepada sector Perusahaan untuk mencarikan kerja seperti kegiatan Job Street yang sudah berjalan di beberapa Universitas.[20]

Perguruan Tinggi negeri awalnya dibentuk menjadi BHMN kemudian dengan UU PT ini statusnya dirancang menjadi PT Berbadan Hukum dengan Otonomi yang menjadi spirit awalnya. Ketelibatan swasta dan bahkan asing dalam campurtangan pendidikan Indonesia menjadikan pendidikan Indonesia tidak akan memihak secara nilai dalam penerapan ilmu pengetahuannya. Kemudian hegemoni Internasionalisasi dan pergaulan global serta pendengungan globaliasasi sebagai mitos yang baik hati jika kita menyeburkan diri di dalamnya terus didengungkan oleh pemerintah. Bahkan dalam UU PT juga disampaikan demikian sebagai standarisasi pendidikan Tinggi Indonesia. Juga melegalkan masuknya perguruan tinggi asing untuk Indonesia. Selain itu peringkat internasional juga selalu menjadi indicator tanpa melihat bagaimana Anak Negeri-nya dapat menikmati pendidikan tersebut secara adil dan merata. Campur tangan industry dan asing sudah pasti menggunakan logika pasarnya dalam menyetir arah dan orientasi pendidikan Indonesia, terutama Pendidikan Tinggi.[21] Hal ini bersesuaian oleh argument gramsci, Freire[22] dan Althusser[23] yang mengatakan bahwa pendidikan sebagai praktik ideologis dan politis akan kehilangan roh pembebasannya jika kembali menjadi mangsa kapitalisme global dengan berbagai praktik dominasi dan hegemoninya seperti yang dipaparkan di atas.

 

Diskriminasi, Dehumanisasi dan Keberlanjutan Penjajahan sebagai Dampak

Prof. Nizam yang merupakan salah satu pejabat di Direktorat Pendidikan Tinggi Indonesia, menyatakan bahwa angka partisipasi kasar pendidikan tinggi pada tahun 2011 sebesar 27,1%.[24] Sementara Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012 menunjukkan, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 3.216 institusi, yang terdiri atas 3.124 PTS dan 92 PTN. Sementara itu dalam sebuah kesempatan awal tahun ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh[25] membeberkan data di Kementrian bahwa tamatan SMA yang mampu lanjut ke Perguruan Tinggi tahun 2013 hanya sebesar 20,7 %, sementara tahun 2015 nanti ditargetkan Angka Partisipasi Kasar mahasiswa di Perguruan Tinggi sebesar 33 % setelah 2011 mencapai angka 27,1 %. Jadi peningkatan selama empat tahun hanyalah 6 % dengan kebijakan yang sudah terealisasi 20% alokasi APBN untuk pendidikan.[26] Jumlah Perguruan Tinggi Negeri yang hanya mencapai 92 PTN dari 33 Provinsi di Indonesia mengindikasikan kecilnya tanggungjawab pemerintah dalam penyediaan PTN yang murah untuk Anak Negerinya. Sehingga dengan hanya tersedianya PTS yang sudah tentu mahal dibanding PTN, pun kalau ada yang lebih murah, bisa dipastikan kualitasnya jauh lebih murah disbanding dengan PTN.

Selain itu yang mampu masuk ke PTN yang telah penuh dengan persaingan adalah mereka dengan persiapan dan kemampuan akademik dan materi yang memang sudah menang. Jadi yang miskin dan punya akses yang kurang akan dengan mudah tersisih.[27] Inilah bentuk diskriminasi dan akhirnya dengan ketidakmampuan mengakses pendidikan tinggi, maka anak negeri yang tersisih tersebut akan menjadi pengangguran dan terus tersisih ditambah lagi ruang sosialnya yang terus tersumbat dan massifnya hegemoni media yang juga sangat diskriminatif dalam pencitraan representasinya. Maka tersubordinasinya anak negeri yang tersisih tersebut dan Negara turut berperan dalam penyingkirannya dengan sistem yang dianutnya membuat dehumanisasi terhadap Anak Negeri tak tak terhindarkan. Teknologi, media, dan arus kuasa modal dan ideology kapitalisme yang sangat hegemonic melalui media massa dan iklan pun membuat mereka tersisih dan terus terjajah. Akses terhadap pendidikan sebagai pusat pengetahuan yang terhambat membuat kekuasaan untuk mempertahankan martabatnya sebagai manusia juga ikut tersingkir dan penjajahan atas Anak Negeri di pangkuan Ibu Pertiwi ini kembali berulang dan terus berlangsung. Inilah yang dimaksud oleh Michael Foucault sebagai Knowledge/Power. Pengetahuan dan kekuasaan tak dapat dipisahkan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran sarjana pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang, atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang.[28] Data ini menunjukkan bagaimana akses untuk pemenuhan kebutuhan hidup melalui bekerja tidak dapat didapatkan oleh warga Negara Indonesia. Sebanyak lebih tujuh juta yang sempat didata oleh BPS pada tahun 2013 merupakan pengangguran dan 360 ribu diantaranya adalah lulusan Perguruan Tinggi yang telah menyingkirkan jutaan lainnya untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Diskriminasi structural sebelum memasuki perguruan Tinggi menimpa Anak negeri ini, kemudian setelah keluar dengan daya saing yang rendah dan memang ketersediaan lapangan kerja oleh pemerintah yang lebih memilih melayani para kapitalis Internasional dengan modal dan korporasinya tersebut menjadikan dehumanisasi dan penjajahan terhadap Anak Negeri di Pangkuan Ibu Pertiwi ini terus berlanjut dan tanpa henti bahkan semakin kejam. Karena dijajah oleh bangsa sendiri yang menjadi pelayan asing.

 

Kesimpulan

Dominasi dan hegemoni Kapitalisme Global di Indonesia dilakukan dengan Skenario Utang dan consensus menjadikan pemerintah negeri ini menjadi pelayan setia Agenda Kapitalisme Global melalui Lembaga pengontrol ekonomi globalnya yakni Bank Dunia (WB), IMF, dan WTO. Selain itu wacana pembangunan, kemudian partisipasi global, iklim investasi, pertumbuhan ekonomi, laju peningkatan investasi dan persediaan lapangan kerja melalui investasi, pencabutan subsidi, dan Go Publik untuk BUMN dan partisipasi swasta dalam pembiayaan sector strategis Negara adalah wacana hegemonik yang sangat ideologis-politis yang selalu didengungkan pemerintah untuk membuat Rakyat Indonesia di negeri ini menerima secara tidak sadar apa yang akan menghancurkannya.

Di sektor pendidikan pun demikian. Lahirnya berbagai regulasi dengan berbagai wacana pemanisnya mulai dari UU Sisdiknas tahun 2003 sampai UU PT tahun 2012 kemarin menjadi wujud realisasi GATT yang menyepakati liberalisasi dan privatisasi sector Pendidikan Indonesia, terutama Pendidikan Tinggi. Dampaknya adalah dari segi statistic Mendiknas hanya mampu menargetkan 33 % partisipasi atau daya tampung Anak Negeri lulusan SMA dan sederajat tahun depan (2015) untuk masuk Perguruan Tinggi. Dan selebihnya 67 % akan tersisih. Sementara itu dengan kualitas pendidikan dan ketersediaan akses dalam bekerja angka 7,17 juta warga Negara menjadi pengangguran dari data yang sempat dicatat oleh BPS tahun 2013, 360 ribu diantaranya adalah lulusan Perguruan Tinggi. Itulah dampak yang ditimbulkan dengan berkuasanya sistem neoliberalisme yang dibawa oleh kapitalisme global di negeri ini. Sebuah diskriminasi dan dehumanisasi massal menurut para Teoritisi Kritis dan penjajahan gaya baru yang menginjak nilai – nilai kemanusiaan dan keadilan sosial Anak Negeri di Bumi Ibu Pertiwi ini.

 

Nasrullah,

Mahasiswa Magister Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada

 

[1]Tempo, 3 Januari 2014, Harga BBM Kerek Angka Kemiskinan

[2] http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/18/02122597/.Keterjangkauan.Pendidikan.Tinggi

[3] http://gentaandalas.com/debat-panas-isu-komersialisasi-pendidikan-uu-pt/ danhttp://www.portalkbr.com/nusantara/jakarta/3058751_4260.html

[4] Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar: 2006

[5] Ben Agger Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana: 2012

[6] Agger dalam Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Resist Book: 2008, halaman 15

[7] Agger (2012)

[8] Ibid

[9] Mansour Fakih, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik. Pustaka Pelajar, 2011

[10] Revrisond Baswir, Mafia Barkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar, 2006

[11] Mansour Fakih, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik, Pustaka Pelajar: 2011

[12] Nuryatno (2008:22)

[13] F.Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, 2009

[14] Antonio Gramsci, Selected of Prison Notebooks (1971), diterjemahkan oleh Pustaka Pelajar 2013

[15] Paulo Freire, Pilitik Pendidikan, Pustaka Pelajar, 2007

[16] Nuryatno (2008:64-65)

[17] Fakih (2011:184), sub bab tentang Dari Kapitalisme, Developmentalisme, Lalu Globalisasi

[18] Ibid

[19] http://www.perspektifnews.com/144/uu-pendidikan-tinggi-legalkan-komersialisasi-dan-privatisasipendidikan/

[20] http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/18/02122597/.Keterjangkauan.Pendidikan.Tinggi

[21] http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html , Mari Melihat (Kembali) UU Pendidikan Tinggi Kita! Oleh Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI)

[22] Nuryatno, (2008)

[23] Analisis SEMAR UI 2013

[24] http://www.perspektifnews.com/144/uu-pendidikan-tinggi-legalkan-komersialisasi-dan-privatisasi-pendidikan/

[25] http://www.neraca.co.id/article/36748/Karpet-Merah-Untuk-Melanjutkan-Pendidikan-Ke-Jenjang-YangLebih-Tinggi

[26] Hasil Amandemen UUD 1945

[27] Baswir (2006), Nuryatno (2008)

[28] http://www.unpad.ac.id//, 24/09/2013

 

Daftar Pustaka

Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Resist Book : Yogyakarta, 2008

Antonio Gramsci, Selected of Prison Notebooks (1971), diterjemahkan oleh Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2013

Ben Agger. Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana: Yogyakarta: 2012

F.Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius: Yogyakarta, 2009

Mansour Fakih, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta 2011

Paulo Freire, Politik Pendidikan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2007

—————, Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Jakarta: 2008

Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006

Stuart Sim & Borin van Loon. Memahami Teori Kritis. Resist Book.Yogyakarta, 2008

Sumber Lain

Tempo, 3 Januari 2014, Harga BBM Kerek Angka Kemiskinan

http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/18/02122597/.Keterjangkauan.Pendidikan.Tinggi

http://gentaandalas.com/debat-panas-isu-komersialisasi-pendidikan-uu-pt/ dan http://www.portalkbr.com/nusantara/jakarta/3058751_4260.html

http://www.perspektifnews.com/144/uu-pendidikan-tinggi-legalkan-komersialisasi-dan-privatisasi-pendidikan/

http://www.neraca.co.id/article/36748/Karpet-Merah-Untuk-Melanjutkan-Pendidikan-Ke-Jenjang-YangLebih-Tinggi

http://www.unpad.ac.id//, 24/09/2013

http://www.perspektifnews.com/144/uu-pendidikan-tinggi-legalkan-komersialisasi-dan-privatisasipendidikan/

http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/18/02122597/.Keterjangkauan.Pendidikan.Tinggi

http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html , Mari Melihat (Kembali) UU Pendidikan Tinggi Kita! Oleh Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI)

catatan : diakses tanggal 15 Januari 2014

Tinggalkan komentar